Monday, September 15, 2008

Korupsi Waktu

Ini tulisan lawas oleh Pak Syam yang terbit di Kompas 2004. Tapi topiknya masih tetap menarik. Saya upload tulisan ini dalam blog ini, sebagai suluh bagi saya, yang juga seorang pegawai negeri. Pegawai negeri di seluruh penjuru tanah air, terkenal sebagai pegawai yang suka korupsi waktu. Tapi, saya tidak mau di cap seperti itu. Bagi saya, bekerja itu tidak hanya mengikuti jam kerja yang berlaku, tapi bisa juga dilakukan di rumah atau di perjalanan jika perlu. Dan saya yakin, tidak sedikit pegawai negeri yang bekerja dengan sungguh-sungguh, tanpa mengenal waktu. Semoga saya dan anda termasuk di dalamnya, sehingga kita tidak turut bikin negara bangkrut.


Korupsi Waktu
Oleh Sjamsoe’oed Sadjad

SEORANG rakyat yang memerlukan pelayanan datang ke suatu ruang kantor pemerintah pukul delapan pagi. Yang ditemui meja- kursi kosong. Tak satu pegawai negeri sipil abdi negara pun yang tampak. Pukul 08.30, orang itu ke warung kopi di sudut kantor. Di sana ditemui 4-5 PNS sambil merokok sibuk mengobrol soal korupsi miliaran rupiah.
Dalam benak kita, masalah korupsi selalu terkait hitungan dalam rupiah, jutaan atau miliaran. Kalau korupsi waktu, itu sudah jamak. Pukul 08.00 harus mulai bekerja, terlambat satu jam tak apalah. Makin tinggi pangkat, datang telat dua jam dianggap lumrah. Padahal itu berarti dia tidak melayani orang yang membutuhkan untuk waktu dua jam sehari. Belum waktu pulang. Seharusnya pulang pukul 17.00, satu jam sebelumnya sudah nongkrong di bus karyawan sambil baca koran. Dia tak peduli berapa orang yang bisa menerima pelayanan bila dia masih bekerja.
COBA kita hitung. Apabila pegawai negeri sipil (PNS) di negeri ini berjumlah 3,5 juta orang, dan tiap hari mengorupsi waktu satu jam, bukankah itu berarti 3,5 juta jam sehari rakyat kehilangan kesempatan untuk dilayani? Hitung saja, bila setahun PNS harus bekerja 5 minggu x 75 hari/minggu x 7 jam/hari = 1.750 jam/tahun, dan gaji yang diterimanya Rp 8,4 juta/tahun, maka setiap jam berarti menerima Rp 4.800.
Dengan korupsi waktu satu jam sehari, seluruh PNS di negeri ini mengorupsi uang rakyat sebesar 3,5 juta x Rp 4.800 = Rp 16 miliar. Ini korupsi sehari, dan hanya satu jam di pagi hari. Belum lagi korupsi satu jam di sore hari. Juga, belum lagi kalau gajinya lebih besar dari Rp 700.000/bulan.
Bayangkan, bila gajinya Rp 150 juta/bulan seperti gaji Dirut Pertamina. Hitung saja, bila datang ke kantor pukul 10.00. Belum para dosen di perguruan tinggi yang datang ke kampus hanya kalau memberi kuliah.
Anehnya, rakyat tidak merasa dirugikan. Rakyat tidak sadar uangnya "digerogoti". Apa karena negeri ini "gemah ripah loh jinawi" sehingga kehilangan Rp 16 miliar/hari masih bisa tertawa? Kehilangan kayu dari hutan yang miliaran dollar AS sehari juga masih bisa cengengesan. Belum utang kita! Ironis memang, tetapi kita ditakdirkan jadi bangsa yang sabar.
Mungkinkah angka-angka itu ditanyakan kepada calon presiden dan calon wakil presiden pada putaran kedua? Bagaimana mereka menjawabnya. Bila jawabannya klise, itu mah gampang.
Mungkin jawabnya, penegakan disiplin dalam tubuh PNS. Pertanyaan berikut, bagaimana caranya? Apa perlu ada pengawasan ketat? Untuk tiap PNS, apa perlu ada job description? Apa mereka siap melakukan rasionalisasi. Jangan-jangan belum apa-apa sudah dikaitkan dengan kecilnya gaji, seperti membandingkan dengan China, yang rasio antara gaji pejabat tinggi dan rendah tidak besar seperti pada kita. Sebenarnya yang ingin didengar yang pragmatis. "How to get everything done well" dan yang benar.
MENGHADAPI berbagai kelemahan, yang diperlukan sebenarnya bagaimana menciptakan triggers. Tindakan kecil, tetapi dampaknya luar biasa besar. Lihat saja, kalau kita tarik picu pada senjata, beberapa peluru bisa meleset sampai ke sasaran. Itu kerja triggering.
Contoh lain seperti yang dikerjakan Gubernur Jawa Timur Moh Nur. Warga di desa disuruh membereskan dan menertibkan pagar-pagar di sekeliling rumah dan pekarangannya. Kecil saja upaya ini, tetapi dampaknya bukan main. Desa menjadi tertib, dinamis, dan warganya lalu lebih besar semangat berkaryanya. Ibu-ibu di desa aktif mencari nilai tambah dari pekarangannya. Triggering tidak hanya berupa tindakan. Sebuah tulisan juga bisa menjadi trigger. Siapa tahu tulisan yang menghitung-hitung kerugian masyarakat karena korupsi waktu oleh PNS bisa menggugah kesadaran kita. Siapa tahu ini bisa sebagai trigger.
Dalam upaya menegakkan disiplin, kita juga memerlukan trigger. Saya kira, cara seremonial seperti model apel, sumpah Korpri, kurang efektif. Semua itu tidak menimbulkan gereget, sehabis apel, bersumpah, kembali begitu lagi.
Para pemimpin kita yang katanya akan membawa pembaruan nanti perlu mempunyai keahlian menciptakan trigger yang bagi rakyat "tanpa merasa, tahu-tahu" kok bisa berdisiplin. Semua PNS juga "tahu-tahu" dengan sendirinya, kok bisa tidak menjalani korupsi waktu, meski tanpa "gaji ke tiga belas". Bukan main pemimpin kita kalau bisa melakukannya. Lima tahun lagi dia kita pilih lagi.
Semoga negeri ini benar-benar bisa tertib, aman, tenteram dan sejahtera.

Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus IPB (terbit di koran Kompas, Sabtu, 17 Juli 2004 )

No comments: