Thursday, October 23, 2008

Alumni Luar Negeri, Aset Bangsa - Sebuah jawaban dari calon alumni luar negeri

Saya baru saja membaca artikel menarik bertajuk: “Alumni Luar Negeri, Aset Siapa?” yang ditulis oleh Eri Sudewo (Republika Online, 2008; dimuat ulang di web site PPI Belanda). Kalimat terakhir dalam artikel tersebut lebih menarik lagi “.. ingat, there is no free lunch. Tanpa pesan kebangsaan, alumni pendidikan luar negeri telah jadi asset mereka yang asing-asing. Sampai kapan ini disadari? (K. Prawira)”

Membaca artikel tesebut saya jadi terhenyak, sebagai salah seorang penerima beasiswa luar negeri, saya sama sekali tidak menyadari taktik politik seperti ini sebelumnya. Mungkin karena saya bukan pengamat politik dan apalagi saya tidak tertarik mengenai bidang politik dsb.

Hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara maju biasanya memiliki suatu perjanjian kerja sama yang pada intinya berniat sebagai sebuah hubungan simbiosis mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Negara maju memberikan dana beasiswa kepada pelajar-pelajar Indonesia, dengan salah satu tujuan yang mulia: turut mencerdaskan generasi masa depan. Terlepas dari taktik politik ‘kotor’ dan lain-lain. Taktik politik terselubung tersebut, tidak pernah terlintas dalam pikiran seseorang atau calon pelajar, yang berniat sepenuh hati untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya hingga ke luar negeri dengan beasiswa luar negeri, dengan bermodalkan otak dan kemauan.

Meraih beasiswa luar negeri bukan perkara mudah, seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Melalui sistem persaiangan terbuka, sama sekali tidak ada istilah KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme. Pengalaman saya yang telah mencoba berbagai peluang beasiswa sejak tamat sarjana untuk meraih beasiswa master, hingga kemudian lulus master dan berjuang lagi untuk meraih beasiswa program doktoral, mengajarkan pada saya, bahwa tiap organisasi pemberi beasiswa memiliki persyaratan mutlak yang pada dasarnya sama, dan hanya beberapa hal yang berbeda bagi tiap-tiap negara. Meraih beasiswa luar negeri harus bermodalkan kemampuan intelegensia, kemampuan berbahasa inggris, selain itu semangat tinggi, kemampuan untuk beradaptasi dan tentu saja modal biaya awal. Untuk mengikuti tes TOEFL atau IELTS, tes potensi akademik, atau pengurusan dokumen-dokumen. Itu semua membutuhkan biaya awal yang tidak sedikit. Jadi sebenarnya tidak tepat kalau disebutkan pelajar yang meraih beasiswa dengan modal ‘dengkul’. Pasti ada biaya dan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih.

Kembali ke kalimat di akhir artikel Eri Sudewo, saya tidak sepenuhnya setuju. Mungkin itu terjadi, atau seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Sebagai contoh, penerima beasiswa dari pemerintah negeri Belanda dengan model sandwich sistem, dimana pelajar diharuskan untuk melakukan sebagian besar risetnya di negara asal dan melakukan penulisan tesis dan ujian di negeri Belanda, biasanya justru harus kemabli ke negeri asal, Indonesia. Karena penelitian yang dilakukan oleh para student sangat erat kaitannya dengan topik dan pembangunan yang sedang berkembang di dalam negeri. Lagi pula, peluang beasiswa umumnya lebih terbuka bagi pegawai negeri, baik dosen maupun peneliti, dimana mereka memiliki kewajiban untuk kembali ke Indonesia setelah pendidikannya berakhir. Kesempatan belajar hingga ke jenjang akhir dengan sistem beasiswa seperti ini dan kontrak yang mengikat dengan instansi asal, saya anggap justru menguntungkan Indonesia, karena alumni luar negeri, mau tidak mau harus pulang kembali mengabdi ke Indonesia. Jikapun ada, kecil kemungkinan bagi para alumni dengan status PNS ‘melarikan diri’ dengan mencari pekerjaan di luar negeri, apalagi jika bidang yang ditekuni lebih sesuai bagi pembangunan Indonesia. Namun sebaliknya, jika bidang keahlian ‘hi-tech’, mungkin malah sang alumnus yang kurang nyaman jika harus kembali pulang ke Indonesia, dengan alasan keterbatasan fasilitas yang tersedia di instansi asalnya tidak sebanding dengan fasilitas yang selama studi telah dikecapnya.

Pemerintah hendaknya mencermati fenomena ini, jika ingin warga negaranya yang berpotensi dan berpendidikan tinggi kembali pulang ke tanah air untuk mengamalkan ilmunya dan bersama-sama membangun bangsa. Sampai kapan Indonesia terpuruk dalam ketidakberdayaan memajukan bangsanya sementara negeri ini kaya raya sumber daya alam dan manusia?

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, “alumni luar negeri aset siapa?” Menurut saya pribadi, alumni luar negeri adalah aset bangsa. Bagaimana caranya? Pemerintah dalam hal ini instansi asal tempat sang alumnus bekeja harus menyediakan suasana kondusif bagi sang alumnus (dan juga bagi karyawan lain) sehingga dapat bekerja dan berkarya sebaik-baiknya. Alasan tidak dapat melakukan riset dan publikasi jurnal, karena keterbatasan sarana dan prasarana, sering kali menjadi alasan klasik. Sepanjang ada niat baik dan semangat kerja, peluang dana untuk melakukan riset yang bermanfaat bagi banyak orang, selalu terbuka. Keinginan untuk berubah ke arah yang lebih maju dengan pemikiran yang terbuka dan mau menerima kritik serta saran dari pihak luar, sangat diperlukan demi kemajuan bersama. Suasana kerja yang kondusif dengan fasilitas yang memadai akan membuat para alumni luar negeri tidak patah arang sebelum pulang ke Indonesia,

Ini tentu lebih baik dari pada tidak berbuat apa-apa atau tidak peduli dan bekerja di luar negeri demi kepentingan diri sendiri, walaupun pilihan hidup itu adalah hak asasi manusia.

Monday, October 6, 2008

Journey of thousand miles to Ph.D.

I got good news from Prof. Marinus last Friday that my thesis has been passed to be defended in December 15th, 2008. The defense ceremony will take place at Akademie gebouw, Utrecht Universiteit, Domplein 29, at 12.45. Many thanks God for your lordliness.
From now on, I must prepare for my public defense ceremony. This event could make up the Ph.D. candidate deadly nervous, I was told.
And I remember:
"The journey of a thousand miles begins with but a single step (Confucius)". My Ph.D. started with a single step by completing my Master degree. And thousand miles to Wageningen, when I had opportunity to visit CBS, and then becoming million miles for 5 years of my sandwich Ph.D. at Utrecht University, which enable me to come and back regularly every year to this windmills country. Yes, it is very long journey for my Ph.D.
Since then, I've decided my goals. "Goals are a like a map. They help us determine where we want to end up, and give us personal direction on which to focus our energy (Chatarine Pulsifer)".

When I am looking at back after I started my study, many important happy, sad and even tragic moment happened in my life, which I could not mention them one by one. Only with love, understanding and support from family, my father and mother, my sisters with their families, and relatives, I could manage family life and study life. Support from supervisor, like Pak Meine did, was really appreciated.

And now is the time:
... Enjoy your achievements as well as your plans. Keep interested in your own career however humble; it is a real possession in the changing fortunes of time.
...

And whether or not it is clear to you, no doubt the universe is unfolding as it should. Therefore, be at peace with God,whatever you conceive Him to be. And whatever your labors and aspirations, in the noisy confusion of life, keep peace in your soul. With all its sham, drudgery, and broken dreams, it is still a beautiful world. Be cheerful. Strive to be happy.
"Desiderata" by Max Ehrmann (1927).