Saturday, October 27, 2007

What for people come into your life?

People come into your life for a reason, a season or a lifetime. When you know which one it is, you will know what to do for that person.

When someone is in your life for a REASON, it is usually to meet a need you have expressed. They have come to assist you through a difficulty, to provide you with guidance and support, to aid you physically, emotionally or spiritually. They may seem like a God send and they are. They are there for the reason you need them to be. Then, without any wrongdoing on your part or at an inconvenient time, this person will say or do something to bring the relationship to an end. Sometimes they die. Sometimes they walk away. Sometimes they act up and force you to take a stand. What we must realize is that our need has been met, our desire fulfilled, their work is done. The prayer you sent up has been answered and now it is time to move on.

Some people come into your life for a SEASON, because your turn has come to share, grow or learn. They bring you an experience of peace or make you laugh. They may teach you something you have never done. They usually give you an unbelievable amount of joy. Believe it, it is real. But only for a season!

LIFETIME relationships teach you lifetime lessons, things you must build upon in order to have a solid emotional foundation. Your job is to accept the lesson, love the person and put what you have learned to use in all other relationships and areas of your life. It is said that love is blind but friendship is clairvoyant.

(I just quote it from somewhere. This suits me this moment ... Thanks for unknown writer)

Tuhan Dalam Pandangan Orang Jawa

Saya membaca artikel berikut (yang ditulis oleh Adi Suripto)dari sebuah web. Menarik dan membuka wawasan saya mengenai kejawen. Hindu yang saya baca dari artikel itu bukan hal yang baru, tapi pengertian Kejawen mengenai ke-Tuhanan itu yang baru saya pahami.

"Om asatoma sad gamaya,
tamaso ma jyotir gamaya,
mritorma umritam gamaya,
Om santih, santih, santih, Om"
{Oh Lord, lead us from unreality to reality
From darkness to light
from death to immortality
Om peace (in heart), peace (in earth), peace (everywhere)}

Berikut artikelnya:

Tuhan Dalam Pandangan Orang Jawa [Ditinjau dari Hinduism dan Kejawen]

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. IA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.
.
Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
.
Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.
.
Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”
.
Upaya mencari Tuhan
.
Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa Jawa “ tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
.
Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.
.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.
.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.
.
Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.
.
Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.

Oleh Adi Suripto
::
”Spirituality is essentially a journey within. You need no preparations, no luggage to carry - nothing absolutely. What you need is just : LOVE ! And this Love, can only come as an after effect of self-actualization, achieved through the practice of meditative way of life.” - Anand Krishna -

Friday, October 12, 2007

Repotnya jadi migrant ke Belanda (II)

Saya dan Anya terbang dari Jakarta ke Amsterdam dengan maskapai penerbangan negeri jiran, dengan waktu tempuh 15 jam dan sekali transit di KL. Penerbangan yang aman dan nyaman. Kami menikmati penerbangan ini. Harga tiketnya pun tidak terlalu mahal dibandingkan dengan maskapi lain :-)

Sebelum berangkat ke Belanda, selain ribet dengan urusan permohonan visa (di bagian I), saya sudah sibuk mencari tempat tinggal. Karena tidak memiliki sahabat ataupun sanak saudara yang bisa 'ditumpangi', saya harus mencari kontrakan kamar/flat/studio. Sulit sekali mencari kontrakan di Utrecht (kota yang saya tuju).

Mencari tempat tinggal bisa dengan beberapa cara yaitu:
1. Apabila anda mahasiswa UU, sebaiknya mencari tempat tinggal di SSHU (biasanya mendaftar melalui universitas atau departemen masing-masing). Informasinya bisa diperoleh di http://www.sshu.nl/ . Sekedar informasi, kamar yang ditawarkan oleh SSHU untuk calon mahasiswa di UU, harganya relatif mahal, karena kamarnya sudah full-furnished dan termasuk biaya listrik, gas, air dan internet.
2. Info kamar bisa dilihat di http://www.kamernet.nl/. Melalui web ini, anda harus daftar dan membayar untuk dapat merespon iklan-iklan rumah/kamar/studio yang kita minati. Susah-susah gampang, karena sang "land lord" biasanya sulit menerima kita, kalau kita belum nyampe di Belanda.
3. Banyak juga informasi sharing rumah/apartment yang tersedia melalui www.phys.uu.nl/~ing/ . Anda harus masuk menjadi anggota milis terlebih dahulu dan ini gratis. Milis ini adalah wadah bagi orang asing yang kuliah (post graduate) atau bekerja di UU. Dari milis ini, kita bisa dapat kamar yang lumayan murah (rata-rata 300 euro/bulan), sampai yang mahal pun ada.
4. Sebenarnya ada juga web site lain yang menawarkan kamar di UTrecht, tapi sayang .. nggak semuanya hapal. (nanti di edit lagi deh..)

Rumah ini penting, karena surat kontark rumah harus disertakan ketika kita lapor diri ke Gementee (Balai Kota). Lapor diri ke Balai Kota hendaknya dilakukan dalam jangka waktu 3 hari setelah tiba di Belanda. Yang penting lagi, kita lapor diri dulu kepada instansi yang menjadi sponsor (universitas atau kantor). Karena, pihak kantor akan menyediakan formulir dan memberi tahu dokumen yang harus kita bawa saat lapor diri ke Gementee. Dokumen yang dibawa yaitu: paspor, akte lahir (seperti yang kita serahkan ke IND), surat kontrak rumah, dan pas foto (ukuran paspor).

Pada awal September'07 kemarin, saat lapor diri, pihak Gementee cuma memberikan selembar kertas yang menyatakan bahwa kita sudah lapor. Surat itu harus dibawa ke IND, untuk apply residence permit (Ijin tinggal). Waktu di Gementee, prosesnya sehari beres. Tapi itu belum berakhir... masih ada proses selanjutnya.

Bersambung di bagian III...

Repotnya jadi migrant ke Belanda (I)

Setelah beberapa kali datang ke negeri Belanda dengan bermodalkan visa turis (Schengen), baru tahun ini saya datang dengan MVV visa (professional residence permit). Visa ini diperlukan jika seseorang akan tinggal di Belanda lebih dari 3 bulan. Permohan visa ini harus diajukan oleh sponsor. Karena status saya sebagai mahasiswa yang bekerja (mengerjakan riset), jadi yang mengurus adalah kantor tempat saya bekerja.

Sekitar 5 bulan sebelum berangkat, saya sudah diminta mengirimkan dokumen-dokumen berupa (via email): paspor lengkap, akte lahir (dalam bahasa indonesia) yang sudah dilegalisir oleh Dep. Kehakiman, Deplu dan Kedutaan Besar di Belanda, juga terjemahannya. Ada beberapa agen penerjemah di Jakarta yang juga melayani jasa legalisir tersebut (agen-agen tersebut resmi terdaftar di Kedutaan Belanda). Biayanya lumayan banyak. Kalau sudah menikah, akte nikahnya diterjemahkan juga. Dokumen lain untuk keperluan di IND (the immigration and naturalisation services), sepertinya tidak ada, kecuali ada dokumen lain yang diminta oleh universitas atau tempat bekerja. Dokumen tersebut dikirim via email (awalnya) dan selanjutnya yang asli-pun dikirim via regular/express post.

Proses selanjutnya dilakukan oleh pihak sponsor, tentu saja ada biaya yang dikenakan oleh IND. Apabila ada dokumen yang kurang atau salah, permohonan bisa ditolak oleh IND. Bila ditolak, harus mengajukan ulang lagi, dan memakan waktu paling cepat 1 bulan setelah dokumen yang baru dan lengkap masuk.

Persetujuan visa diketahui melalui kabar yang disampaikan oleh pihak sponsor. Bila disetujui, dokumen asli hendaknya dikirim kembali ke Indonesia, agar bisa dibawa dan ditunjukkan kepada pihak Kedutaan Belanda pada saat mengambil cap visa.

Proses di Kedutaan
Awalnya saya menyangka, proses di Kedutaan Besar hanya akan memakan waktu 5 hari kerja (1 minggu). Ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya benar. Bila kita mengajukan permohonan visa MVV dan schengen, diperlukan waktu proses paling cepat 2 minggu. Visa schengen dapat dimohon, jika kita juga berencana akan bepergian ke luar negeri Belanda pada awal kedatangan (kurang dari 3 bulan). Hanya apabila kita memohon visa MVV saja, prosesnya dapat selesai dalam waktu 5 hari kerja.

Karena kurang paham dengan aturan ini, saya sudah memesan tiket jauh-jauh hari dan bahkan tiket sudah ditangan ketika membawa dokumen dan paspor ke Kedutaan Belanda. Saya pikir toh mvv visa saya sudah disetujui oleh pihak imigrasi Belanda, dan saya ke Kedutaan hanya meminta cap visa-nya saja. Jadi sebaiknya tiket hanya di book saja dulu, setelah ada kepastian tanggal dari Kedutaan untuk mengambil cap visa, baru tiket pesawat dapat di-issued. Hampir saja tiket saya hangus.. Akhirnya, saya mendapatkan kembali paspor dan visa hanya beberapa jam sebelum terbang. Wah...

Untuk keperluan visa schengen, prosedurnya dapat di baca di http://www.netherlandsembassy.or.id

Untuk informasi MVV visa, baca di www.ind.nl